Ahad pagi itu (26/10) saya dan Nabila, anak saya, bersiap untuk menghadiri acara Halal Bihalal Keluarga Masyarakat Belitung di Jakarta. Sebuah acara tahunan yang diselenggarakan sehabis lebaran. Dalam acara kali ini, panitia berupaya untuk menghadirkan para pemeran film Laskar Pelangi. Tapi sayang, karena mereka mau pentas di negeri sendiri malamnya, jadinya mereka tidak bisa hadir. Syukurnya, ibu Muslimah asli yang bisa hadir, mewakili mereka semua. Hmm.. memang ibu ini yang saya tunggu.

Waktu acara Halal Bihalal Babel, menyesal sekali tidak bisa hadir dan baru bisa hadir di acara ini. Sebaliknya, para pemeran film tidak ada satupun yang bisa hadir, termasuk penulis ceritanya.

Nabila saya paksa untuk mau foto bareng. Seperti biasa, awalnya dia malu-malu. Tapi saya bilang padanya bahwa ini kesempatan sekali dalam seumur hidup. Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi? Belum tentu besok-besok masih ada lagi. Dan berangkat dari pengalaman dia yang ogah-ogahan sewaktu foto bareng dengan pemeran film Laskar Pelangi, maka dia mau dengan senang hati.

Ibu Muslimah juga ramah dan friendly dengan semua orang. Yah, dia sekarang sudah menjadi milik semua orang. Jadi selebriti, hihihi.. Kemanapun dia pergi, kini banyak orang yang mengenalinya. Dengan dibalut baju dan kerudung serba putih, beliau tampak masih cantik di usianya yang saya taksir sekitar lima puluhan.

* * *

Acara Halal Bihalal kali ini, bagi saya, tidak terlalu menarik, karena mungkin sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Yang menarik buat saya justru kumpul-kumpul. Beberapa orang-orang tua yang dulu sahabat bapak saya, sempat saya sapa. Saya perkenalkan diri saya dan saya sebutkan nama bapak saya. Maklum, mereka pasti masih kenal dengan bapak saya. Kalau saya, mana mereka kenal?

Nah, dulu-dulu saat datang ke acara ini saya belum punya misi. Sekarang berbeda, saya datang dengan bendera warnaislam. Niat saya ingin membangkitkan naluri kewartawanan, jurnalistik, menulis, yang dulu menjadi kebiasaan dari bapak saya. Kalau dulu beliau membuat majalah Suara Masyarakat Belitung, saya ‘meneruskan’ jejak beliau dengan membuat majalah atau koran atau media online. Mudah dan murah, tanpa harus pusing-pusiing seperti zaman dulu.

Saya ingat, dulu bapak saya malam-malam mengetik materi artikel sendiri, di kertas stensil. Selama beberapa malam sampai subuh, beliau rajin mengetik, mengoreksi dan sebagainya. Kalau salah, diulangi lagi. Setelah selesai, maka materi stensilan itu dibawanya ke percetakan, kalau tidak salah namanya Furkandi, di jalan Surabaya. Di sana dicetak berlembar-lembar dan disusun sesuai dengan nomor halaman. Selesai dicetak, oleh pak Furkandi dikirim ke rumah. Lalu oleh ibu saya dibantu kami anak-anaknya dan juga ada anak IKPB, dilipat dan dimasukkan amplop, dikirim ke ‘para pelanggan’ melalui pos atau dititipkan.

What a wonderful years..!

* * *

Kembali ke acara, setelah beberapa sambutan dan pidato yang diberikan oleh bang Syam, Wakil Gubernur Babel, bung Yusril, mantan menteri Hukum dan Ham, serta ibu Muslimah, acara dilanjutkan dengan hiburan yang diberikan oleh Moel KDI. Ada beberapa sambutan yang lain, tapi sengaja tidak saya foto. Mohon maaf kepada panitia, karena ada beberapa pertimbangan pribadi, hehehe..

Moel KDI, salah seorang kontestan KDI 5, tampil menggoyang dengan lagu dangdut. Sebagai orang yang pernah merasakan gemblengan untuk menjadi juara, kualitas suaranya dan penguasaan cengkok melayunya, tidak mengecewakan. Yah, karena masih kalah dengan penyanyi yang lebih bagus saja mungkin, yang menyebabkan dia kalah.

Tapi, terus terang, saya tidak pernah melihat penampilan dia di KDI sebelumnya. Bukan karena tidak suka lagu dangdut, cuma waktunya saja yang tidak sempat. Tapi sebagai putra Belitung, bangga juga lah ada bisa masuk tivi.

Selain suguhan tadi, ada juga tampilan dari penyanyi dan juga di awal acara ada tarian penyambutan. Acara sayangnya semakin semrawut karena makanan mulai digelar. Peserta jadi terpecah pada konsentrasi acara dan makanan. Saya sendiri juga akhirnya keluar.

Di luar digelar bazaar. Yang dijual macam-macam, mulai dari baju, makanan terutama, suvenir dan VCD lagu-lagu urang Belitong. Sepupu saya yang ada di foto sebelah ini, Siska yang paling kiri, ikut jualan keripik dan sejenis bubur sumsum. Agak jauh di sebelah kiri stand si Siska, ada yang jualan pempek. Rasanya Belitong bangat.

Tapi anak saya bertanya, bukankah pempek itu aslinya dari Palembang? Tidak juga saya bilang. Karena setahu saya hampir seluruh wilayah Sumatera Selatan punya makanan pempek. Dan dulu Bangka belitung itu jadi satu provinsi dengan Sumsel. Dan menurut saya, pempek Belitung itu agak berbeda sedikit dengan yang Palembang. Sedikit lebih kenyal atau liat, dan kalau kurang ahli bikin pempek, hasilnya bisa jadi lonyok atau malah keras.

Saya kehilangan ‘keponakan’ saya si Endah yang waktu itu mengajak nonton Laskar Pelangi. Sampai detik ini tidak ada kabar beritanya, lenyap hilang tertelan bumi. Padahal menurut sepupu saya yang juga panitia penyelenggara, Endah itu waktu menjual buku seri Laskar Pelangi itu, bisa mendapat keuntungan sampai 4 juta rupiah! Bukan jumlah yang sedikit lho! Dan sekarang ini, tidak nongol juga tuh, batang hidungnya itu anak. Ada apa gerangan, ya?

* * *

Acara dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan bagi ibu Muslimah, yang karena kegigihan beliau untuk mengajar di SD Muhammadiyah Gantong itu, jadi sebab Andrea menuliskan cerita yang kemudian sukses. Setelah itu acara pembagian doorprize. Syukur alhamdulillah, saya dan Nabila tidak dapat. Berarti tahun besok harus ikut lagi nih, biar dapat (lho?)

Acara ditutup dengan bersalam-salaman seluruh peserta. Saya taksir ada sekitar 300 sampai 500 hadirin. Cukup banyak ya? Antusiasme untuk bersalaman dengan para pembesar dari Belitung juga besar. Yang saya pikir, apa tidak pegal ya, bersalaman dengan sekian rauts orang? Apalagi mereka saling kenal mengenal satu sama lain. Jadi selain salaman, tentu ada kata-kata, ‘Eh, apa kabar? Gimane kabar mikak?’ Yah, begitulah kira-kira yang terdengar. Saya sendiri sembari bersalaman,saya perkenalkan diri. ‘Saya Dewan, anak Alex Rachim’. Yang agak tua sudah pasti kenal dan langsung menyalami dengan hangat. Enak juga yah, jadi anak orang terkenal, walaupun terkenal cuma seantero pulau.

Dulu saat PM Jepang Yasuhiro Nakasone datang ke Jakarta, disambut dengan acara pernikahan adat Belitung di anjungan Sumatera Selatan di TMII. Itu sekitar tahun 80an begitu. Saya masih ingat acara itu, karena benar-benar meriah. Waktu itu saya masih SD. Tidak berapa lama acara itu muncul di SMB (Suara Masyarakat Belitung), majalah terbitan bapak saya yang saya ceritakan tadi.

* * *

Yah, semoga saya bisa terus menyambung tali silaturrahim dengan Belitung. Karena dalam tubuh saya mengalir darah Belitung. Dan itu tidak bisa ditinggal begitu saja, apalagi kini Belitung sedang naik daun karena novel yang ditulis Andrea Hirata sudah sangat terkenal dan filmnya disukai banyak orang.

Saya dapat kabar dari sepupu saya di Belitung, bahwa dikarenakan tidak adanya gedung bioskop di sana, terpaksa film ini digelar seperti misbar atau layar tancap. Sangat disayangkan, tapi memang itu keadaannya. Hal itu mungkin disebabkan saat tahun 90an dimana film Indonesia sedemikian memuakkan, sehingga orang Belitung terutama di Tanjung Pandan tidak sudi film ‘begituan’ beredar di sana. Jadi, bioskopnya bangkrut deh, akibat tidak ada pemasukan.

Saya juga berharap semoga pemda dan Diknas Belitung terutama, memang menyorot benar-benar perkara pendidikan di sana. Tapi ini juga himbauan untuk seluruh negeri di negara tercinta ini. Bukan masalah pendidikan itu gratis atau tidak. Bukan karena janji para kepala daerah saja. Tapi itu juga menjadi janji bagi kita sebagai orang tua, bahwa anak kita harus bersekolah. Janji sebagai guru, bahwa anak didiknya harus bersekolah. Janji negara, bahwa anak bangsanya harus bersekolah.

Ingat, pendidikan itu penting, karena Allah saja sedemikian peduli dengan ilmu pengetahuan dan menempatkan sebagai surat dan ayat yang pertama kali turun dalam al-Qur`an. Juga Nabi Adam saat dihidupkan, ia langsung diajarkan nama-nama benda.

Dengan kata lain, tanpa ilmu, kita bisa tersesat di dunia ini untuk bisa kembali pada Allah. Kembali pada keridhoanNya, keberkahanNya dan pengampunanNya. Aamiin.. (Dewantara Rachim)